Sebenarnya kelahiran Bilsha sudah lama, hampir di akhir tahun lalu. Kalau
diingat-ingat bagaimana saya mengalami kehamilan saat itu, cukup lucu karena saya hamil tapi tidak tau bahwa saya dalam keadaan sedang hamil. Ini sampai usia 2 minggu **gak lama sih ya
Jadi saat bulan September 2019, kk ipar saya yang
tinggal di Malang mulai pindah menginjakkan kakinya di Jakarta.
Kebersamaan
bersama istri kk ipar dari mulai jalan-jalan ke Jonggol, berenang di kolam umum
bawa anak-anak (kk-kknya Bilsha dan mbak Alyssa), juga main di mal Graha
Cijantung. Sudah seperti kakak sungguhan bagi saya karena saya kebetulan tidak
punya kakak kandung (karena saya anak pertama).
Nah sekitar bulan Februari 2020,
kebetulan istri kakak ipar nge-WA mengajak berenang di kolam renang khusus
wanita, House of Shafa-Tebet. Saat itu saya tidak mengiyakan yang sebelumnya
selalu sepakat. Saya merasa tidak enak badan. Agak greges badan dan ga pengen
keluar rumah. Akhirnya beliau berangkat berdua bersama anaknya lewat bantuan
Gmaps.
Sempat terbersit kangen hamil di bulan-bulan itu. Hanya sekali
pikiran itu lewat. Hal ini karena kedua adik dan teman-teman kuliah saya kena hamil bahkan ada yang siap melahirkan.
Kegiatan saya sebelum hamil adalah antar dan
jemput kedua anak bersekolah. Selain belanja di warung, ke rumah mamah, antar ke
kolam renang, juga solat Jumat di tempat keren; At-Tin.
April 2020, Corona
Disease pun menyeruak. Pemerintah mengimbau untuk lebih banyak berada di dalam
rumah. Sekolah, kuliah, dan kerja dilakukan secara daring (online). Bagi ibu
yang punya dua anak, terlebih anak laki-laki, perlu pengawasan ekstra karena
ketika tidak diawasi, kadang mereka kurang memperhatikan guru. Di situ kadang saya
marah-marah.
Suatu ketika, saya minta suami beli testpack karena saya merasa harusnya sudah datang bulan. Dibelikan tiga
batang, 1 yang mahal, dua yang murah. Tes pertama, pakai yang mahal, udah
kepedean tuh.. Eh garis satu. Saya juga menyadari belum masuk waktu haid. 'Oh,
gak hamil ya', agak 'nyes', sedikit lemes.
Tidak lama kemudian, saya
berhalangan. Setelah masa itu, saya coba tes pakai test pack yang kedua. Ada 1
garis tebal dan satu garis samar. Kemudian saya beritahukan ke suami dan di
ujung pekan, kami ke dokter untuk periksa. Ke JIH kalau tidak salah, langsung
USG di dokter Prita. Hasilnya?? sudah berusia 2 minggu. Pantas saja saya telah
merasakan pusing dan mual lebih intens sebelum berangkat periksa. Kehamilan
menginjak 1 bulan. Bulan berganti bulan, dan April 2021 memasuki bulan puasa.
Saya periksakan kehamilan selang-seling di bulan ganjil. Kenapa?? Karena biaya
periksa ke dokter kan lumayan. Belum lagi biaya USG yang sudah naik hampir dua kali
lipat dulu di zaman kakaknya.
Kata dokter, di bulan puasa saya disarankan tidak
berpuasa dulu. Saya tanya, "Walau selang-seling hari puasa, Dok?" Jawab dokter "Walaupun... karena janin di kehamilan muda sedang butuh banyak nutrisi jadi Ibu perlu asupan makanan sehat. Sebaiknya Ibu makan makanan yang bergizi
seperti daging-dagingan, biji-bijian, buah, sayur. Toh agama telah memberikan keringanan
untuk ibu hamil dan menyusui. Kalau di usia hamil tua, baru jika kuat boleh
berpuasa karena janin sudah punya cadangan makanan yang cukup". Aku kaget. Tapi
saya ikuti.
Pantas saja teman saya yang juga hamil katanya boleh puasa. Dia
memang sudah memasuki kehamilan tua, sudah terlihat isi. Dia juga cerita pernah
diberi penguat kandungan oleh dokternya, sementara saya tidak. Mungkin memang
dokter melihat kondisi janin saya kuat jadi tidak perlu penguat kandungan. Meski
hamil, ke mana-mana saya masih jagoan melakukan aktivitas sebelum hamil. Hanya
di kehamilan muda saya menjaga tidak naik motor, tapi pas sudah di atas 5 bulan,
naik motor lagi tapi pas polisi tidur saya bangun dari duduk, hehe..
Bagaimana
tidak? Karena di rumah tidak ada pembantu yang menginap. Minta tolong nyetrika
saat itu hanya seminggu sekali. Suami juga bukan yang setiap hari stand by di
rumah.
Namanya emak-emak, walaupun muda (tsaaah...) ada juga perlu ke warung, ke
sekolah anak-anak, juga rumah teman. Bulan demi bulan saya lalui. Dari mulai
kontrol di JIH, Harbun, sampai kenal Klinik Bunda sehat di Cijantung, yang tarif
3D USG-nya cuma 150 ribu dan 4D-nya cuma 250 ribu tapi harus rela antri di tempat
kecil yang pasiennya tidak jarang memenuhi kursi.
Hasil USG di kedua tempat
tersebut, alhamdulilah selalu perempuan, yang memang diidamkan.. Saya diberi suplemen Osfit
DHA yang seharga 200 ribu oleh dokter di JIH juga minum susu hamil
yang 200 gramnya seharga 40 ribuan. Tidak jarang mama saya
memberikan makanan sehat, termasuk jeruk Bali yang katanya kaya asam folat, dan
menyarankan tidak banyak makan nanas dan lalap daun pepaya.
Semuanya berharap janin ini perempuan.
Kandungan sudah semakin berat. Menginjak usia 7 bulan kehamilan, paha saya
sakit, terutama saat posisi dari duduk ke bangun dan mau naik motor. Ngebet.
Muka tentu saja memucat sekaligus menggendatz, hehe.
Di kehamilan ketiga, saya
banyak punya teman sharing. Dari mulai mamanya murid les; Bu Oli, 2 orang adik
kelas kuliah; Maimanah/Memen dan Nabila, juga mantan tetangga; Mba Ria. Saya juga sempat
tergiur pengen VBAC (Vaginal Birth After Cesar). Di Klinik Bidan Anny Rahardjo
di Kampung Gedong, dengar-dengar banyak yang berhasil VBAC.
Sudah bela-belain
beli bola hamil juga tuh yang gede, enak diduduki enjot-enjot. malah
kakak-kakaknya juga ikut enjoy jot-enjotan di itu bola, hehehe.
Mau ngerasain
lahiran normal tapi suami dan mama melarang. "Selagi berobat ke satu dokter,
percayakan pada dia, toh gak keluar biaya kan operasinya, biar tidak ambil
keputusan sendiri yang akhirnya malah terjadi fatal seperti pendarahan, juga hal
berbahaya lain yang menyangkut nyawa. Dua nyawa ini soalnya..". Saya 2x riwayat
SC jadi dokter di rumah sakit tidak ada yang menyarankan VBAC karena terlalu
berisiko, apalagi sudah memasuki usia 35 tahun. (makin dewasa ya saya, tua
tepatnya...wkwkwk) Kontrol pun semakin sering. Saya instal aplikasi kehamilan di
HP; The Asian Parents.
HPL diperkirakan awal Desember. Saya pernah ada riwayat
SC maka saya periksa kembali ke tempat dulu lahiran, di RS Harbun. Dokter Rina
masih ramah seperti biasanya. Sampai tiba masa penentuan waktu SC, ternyata maju
jadi November. Usia kandungan telah menginjak 37 minggu. Ketika itu, hati
bertanya-tanya, apa aman dilahirkan di minggu segitu? Lagi-lagi saya percaya
dokter. Awalnya pengen 10 November biar pas di Hari Pahlawan. Ternyata dokternya
sudah ada jadwal di rumah sakit lain di Cileungsi, kami mengalah.
Sepakat di
tanggal 11. Persiapan menuju operasi saat Corona, sungguh lebih kompleks. Tahap
demi tahap dilakukan sendiri. Dari mulai daftar mau operasi di ruang Medical
Check Up di lantai 1, ke poli jantung di gedung seberang, kembali ke poli
kandungan di lantai 3 gedung baru, naik turun lantai pindah gedung, bolak-balik
ke rumah sakit naik angkot di pekan yang sama.
Banyak tangguh dan harus sabar,
biar kelak dede bayinya pun jadi anak mandiri.. Sampe satpam jadi nanya "Gak
sama bapaknya ya Bu?" krn mungkin saya terlihat terengah-engah saat tanya tempat
poli ini di lantai berapa, blablabla wkwkwkwkwkwk
Prosedur sudah lengkap, saya
diminta sudah di rumah sakit jam 9 di hari Kamis itu. Hanya berdua suami karena
orang tua saya menjaga kakak-kakaknya di rumah mamah. Jam 9 masuk kamar rawat
inap, jam 14 sudah harus mulai puasa. Sholat isya juga dijama' taqdim ke magrib.
Dari jauh-jauh hari di grup pun saya menghubungi orang dekat, saudara, teman
dekat, minta maaf sekaligus minta didoakan biar selamat, sehat, ibu dan bayi.
Pikiran sempat ada mikir yang negatif jika terjadi apa apa. Hanya bisa
memasrahkan segalanya. Jam 20 dilakukan operasi, Dede bayi berjenis kelamin perempuan pun keluar.
Alhamdulillahilladzii bini'matihii tatiimush shaalihaat...
Semoga Dede bayi menjadi anak solihah teman ngobrol ibunya, jadi adik yang baik dan bermanfaat dunia -akhirat. Aamiiin
Komentar
Posting Komentar