Pada tahun ajaran baru dalam dunia pendidikan kita memang lumrah dengan yang namanya OSPEK, perpeloncoan, dan masa orientasi siswa atau yg disingkat MOS. Istilah pada masing-masing sekolah bisa berbeda. Namun biasanya, pada sekolah yang mengutamakan persaingan antar sesama lulusannya, amat sering terjadi tindak kekerasan.
Menurut saya, pertama yg harus diluruskan adalah kita harus membedakan antara istilah perpeloncoan dan masa orientasi untuk OSPEK. Sebaiknya memilih kata MOS untuk OSPEK siswa baru. Mengapa diawali dengan pemilihan kata? Karena dari pemilihan kata-lah persepsi akan terbentuk. Hal ini berkaitan dengan nilai rasa dan persepsi yang hinggap di kepala-kepala para panitia penyelenggara OSPEK di sekolah tersebut. Perpeloncoan memiliki nilai rasa negatif yg mengarah pada tindakan kekerasan terhadap siswa baru di sekolah tersebut. Atas alasan apapun, apalagi jika dikaitkan dengan motivasi belajar, perpeloncoan atau lebih tepatnya penzaliman, tidak dapat dibenarkan.
Dunia pendidikan seharusnya mengarahkan jiwa dan pribadi menjadi manusia yang baik. Seharusnya ranah dunia pendidikan menanamkan nilai2 kecerdasan, keramahan, keadilan, berkasih-sayang, menghormati yang tua, menyayangi yang muda, tolong-menolong, kejujuran, profesionalitas, disiplin, kesantunan, kepedulian.
Amat tidak layak jika dalam dunia pendidikan terjadi bentuk2 kekerasan, menanamkan benih-benih permusuhan dan rasa dendam, seperti kasus di STPDN.
Sedangkan nilai rasa masa orientasi siswa (MOS) lebih mengacu kepada pengenalan siswa baru terhadap lingkungan dan sekolah barunya. Seharusnya yang ada dalam OSPEK adalah pengarahan mengenai denah tata ruang sekolah, peraturan2 sekolah, visi dan misi sekolah, prestasi2 sekolah, prestasi2 kk kls, prestasi guru2, sehingga para siswa baru langsung melihat keteladanan dalam tempat barunya dibanding niatan utk membalas dendam pada adik kelas barunya kelak.
Lalu bagaimana mencegah sebuah institusi pendidikan dari tindak kekerasan/ perpeloncoan?
Guru adalah garda terdepan. Wibawa guru-lah yang mampu menjaga sikap siswa dari pelanggaran. Selain itu, ketegasan guru untuk berkata tidak secara sungguh-sungguh dan teguran yang adil akan mewarnai 'atmosfer' di sekolah tersebut.
Seperti yg sudah terjadi di STPDN, sepertinya tidak harus terjadi lagi di sekolah lain. Lulusan institusi pendidikan terlebih lulusan STPDN diharapkan menjadi calon pejabat pemerintahan yg santun. Jikapun yg terjadi malah memberikan citra negatif terhadap dunia pendidikan, lbh baik berita itu tak usah diperluas, langsung saja ditindak secara tegas oleh yang berwajib. .
Kesimpulan:
Masa orientasi yang mengancam keselamatan nama baik seseorang apalagi sampai mengancam nyawa seseorang (perpeloncoan) sebaiknya dihentikan. Guru sebagai pemimpin dalam lingkungan pendidikan harus mengambil sikap tegas untuk berkata tidak terhadap perploncoan. Sistem masa orientasi siswa baru yang masih berbau perpeloncoan harus diubah menjadi yang mengedepankan nilai penghormatan, kasih-sayang, keteladanan, kesantunan, dan ke-sportif-an. Jika tidak, ia akan menjadi kumparan mata rantai yang berlangsung terus-menerus demi memuaskan rasa dendam sang kk kelas.
Komentar
Posting Komentar